georgegordonfirstnation.com Sebuah video berdurasi kurang dari satu menit membuat jagat maya geger.
Dalam rekaman itu, seorang remaja perempuan tampak mengenakan hoodie ungu sambil memegang buku bergambar lambang negara Indonesia, Garuda Pancasila.
Namun yang mengejutkan, ia justru melontarkan kata-kata yang merendahkan simbol negara tersebut.
Dengan nada menantang, remaja itu menyebut Pancasila sebagai “sampah” dan bahkan memperagakan seolah hendak menginjak buku itu.
Ucapannya direkam dalam video singkat yang kemudian diunggah ke media sosial.
Hanya dalam hitungan jam, video tersebut viral di berbagai platform seperti Instagram, X (Twitter), dan TikTok.
Salah satu akun yang mengunggah ulang video itu menuliskan keterangan, “Ini orang sudah ditangkap belum? Seenaknya menghina Pancasila.”
Komentar warganet pun langsung membanjiri unggahan tersebut.
Banyak yang marah, merasa tersinggung, dan menilai tindakan sang remaja sangat tidak pantas.
Bagi masyarakat Indonesia, Pancasila bukan hanya sekadar ideologi, melainkan dasar negara yang menjadi pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tak heran jika aksi tersebut menimbulkan kemarahan publik dan menyeret perhatian aparat penegak hukum.
Polri Bergerak Cepat Menyelidiki Kasus
Menanggapi keresahan publik, Kepolisian Republik Indonesia (Polri) langsung bergerak melakukan penyelidikan.
Kadiv Humas Polri, Irjen Pol Argo Yuwono, memastikan bahwa pihaknya telah menindaklanjuti laporan yang beredar di media sosial.
Menurutnya, video tersebut kini sedang dalam proses penyelidikan untuk memastikan kebenaran dan motif di balik aksi penghinaan itu.
“Kasus ini masih dalam tahap penyelidikan. Kami sudah mengidentifikasi pelaku dan lokasi pembuatan video,” ujar Argo.
Tim siber Polri juga telah menelusuri asal unggahan pertama serta akun-akun yang turut menyebarkannya.
Dari hasil pelacakan awal, pelaku diketahui seorang remaja perempuan berinisial A, berdomisili di wilayah Karawang, Jawa Barat.
Ia kemudian diamankan oleh petugas untuk menjalani pemeriksaan lebih lanjut.
Motif dan Pengakuan Pelaku
Dalam pemeriksaan awal, pelaku mengaku video itu dibuat tanpa maksud serius.
Ia menyebut hanya ingin membuat konten lucu untuk teman-temannya.
Namun, aksinya justru menyinggung banyak pihak dan dianggap sebagai penghinaan terhadap simbol negara.
Pelaku juga mengaku menyesal setelah melihat video tersebut menjadi viral.
Ia mengatakan tidak menyangka ucapannya akan menimbulkan kemarahan publik sebesar itu.
“Saya hanya iseng. Saya minta maaf kepada seluruh masyarakat Indonesia,” ujarnya dengan wajah tertunduk.
Polisi masih mendalami apakah tindakan pelaku dilakukan sendiri atau ada pihak lain yang turut terlibat dalam pembuatan dan penyebaran video.
Selain itu, penyidik juga sedang memeriksa ponsel dan akun media sosial pelaku untuk mencari bukti tambahan.
Reaksi Publik dan Tokoh Masyarakat
Kemarahan publik tidak hanya datang dari pengguna internet, tetapi juga dari kalangan tokoh masyarakat dan akademisi.
Banyak yang menilai bahwa tindakan semacam ini menunjukkan menurunnya rasa nasionalisme di kalangan generasi muda.
Para pendidik dan tokoh agama pun menyerukan pentingnya menanamkan kembali nilai-nilai Pancasila dalam pendidikan dan kehidupan sosial.
Salah satu dosen hukum tata negara di Jakarta menegaskan bahwa penghinaan terhadap lambang negara termasuk tindakan yang tidak dapat ditoleransi.
“Pancasila adalah simbol kedaulatan bangsa. Setiap tindakan yang merendahkannya bisa dikategorikan sebagai pelanggaran hukum dan moral,” ujarnya.
Beberapa organisasi kepemudaan bahkan mendesak agar aparat penegak hukum memberikan efek jera kepada pelaku agar kasus serupa tidak terulang.
Namun, sebagian masyarakat juga mengingatkan agar proses hukum dilakukan secara bijak, mengingat pelaku masih berusia remaja dan mungkin belum memahami konsekuensi dari tindakannya.
Aspek Hukum dan Potensi Jeratan Pidana
Secara hukum, tindakan penghinaan terhadap lambang negara dapat dijerat dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan.
Pasal 57 undang-undang tersebut menyebutkan bahwa siapa pun yang merusak, menghina, atau memperlakukan lambang negara secara tidak hormat dapat dikenai pidana penjara hingga lima tahun atau denda besar.
Namun, karena pelaku masih di bawah umur, polisi mempertimbangkan pendekatan hukum yang lebih bersifat edukatif.
Langkah ini dilakukan agar sang remaja tetap mendapat pembinaan tanpa harus kehilangan masa depannya.
Polisi juga berkoordinasi dengan Balai Pemasyarakatan Anak untuk memastikan proses hukum berjalan dengan memperhatikan hak anak.
Upaya Edukasi dan Pencegahan
Kasus ini menjadi pelajaran penting bagi masyarakat, terutama generasi muda, untuk lebih berhati-hati dalam menggunakan media sosial.
Konten yang dibuat untuk “candaan” bisa berakibat fatal jika menyentuh ranah simbol negara atau isu sensitif lainnya.
Polri juga mengimbau masyarakat untuk tidak ikut menyebarkan video tersebut, karena hal itu justru memperluas dampak negatif.
Sebaliknya, masyarakat diminta melapor ke pihak berwenang jika menemukan konten serupa di platform daring.
Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika menegaskan komitmennya dalam menindak tegas penyebaran konten bermuatan ujaran kebencian dan penghinaan terhadap simbol negara.
Mereka juga menggandeng komunitas digital untuk mengedukasi masyarakat tentang etika bermedia sosial.
Penutup: Nasionalisme di Era Digital
Kasus penghinaan terhadap Pancasila ini menjadi refleksi bagi semua pihak.
Kebebasan berekspresi di dunia digital harus tetap disertai tanggung jawab moral dan kesadaran hukum.
Pancasila bukan sekadar teks di buku, tetapi cerminan identitas bangsa yang harus dijaga oleh setiap warga negara.
Dengan adanya langkah cepat dari aparat kepolisian, diharapkan kasus ini bisa menjadi pembelajaran agar masyarakat—khususnya generasi muda—lebih bijak dalam bersikap.
Hukum tetap ditegakkan, tetapi nilai edukatif dan pemulihan karakter juga menjadi bagian penting dari penyelesaiannya.

Cek Juga Artikel Dari Platform pestanada.com
