georgegordonfirstnation.com Pengesahan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) versi terbaru oleh DPR memunculkan gelombang kritik dari berbagai kalangan. Banyak pihak menilai aturan baru ini tidak disiapkan dengan matang dan mengandung banyak pasal yang bermasalah. Selain itu, proses penyusunannya disebut minim melibatkan masyarakat, sehingga terkesan terburu-buru.
Aturan yang menyangkut proses penegakan hukum seharusnya melalui kajian mendalam. Namun, KUHAP baru justru mencerminkan lemahnya mekanisme partisipasi publik. Banyak kelompok masyarakat, praktisi hukum, hingga akademisi merasa tidak mendapat ruang cukup untuk memberikan masukan. Akibatnya, undang-undang yang sangat penting bagi sistem peradilan ini dinilai cacat sejak lahir.
Tanpa Masa Transisi, Risiko Kekacauan Mengintai
Salah satu masalah terbesar dalam KUHAP baru adalah absennya masa transisi yang memadai. Undang-undang ini akan langsung berlaku tanpa memberikan waktu adaptasi kepada aparat penegak hukum maupun masyarakat. Polisi, jaksa, hakim, hingga penasihat hukum dituntut menerapkan aturan baru secara instan, padahal proses perubahan ini sangat besar.
Ketika aturan berubah drastis tanpa persiapan, kekacauan hampir pasti terjadi. Aparat bisa berbeda penafsiran, masyarakat tidak memahami hak-haknya, dan sengketa prosedur hukum berpotensi meningkat. Situasi demikian membuat proses peradilan menjadi tidak stabil dan membuka celah kesalahan prosedural.
KUHAP adalah dasar dari seluruh proses pidana. Kesalahan sedikit saja dapat berimbas pada rusaknya proses keadilan bagi banyak orang.
Partisipasi Publik Dipertanyakan
Proses legislasi KUHAP baru juga dikritik keras karena dianggap memanipulasi partisipasi publik. Pemerintah dan DPR mengklaim telah melibatkan masyarakat, tetapi banyak catatan yang menunjukkan bahwa diskusi dan konsultasi dilakukan secara terbatas. Undangan untuk uji publik tidak tersebar luas, banyak kelompok masyarakat sipil tidak dilibatkan, dan masukan ahli sering kali diabaikan.
Partisipasi publik bukan sekadar formalitas, melainkan kewajiban agar undang-undang mencerminkan kepentingan seluruh lapisan masyarakat. Ketika proses ini dipersempit, risiko munculnya aturan bermasalah menjadi sangat tinggi. KUHAP baru menjadi contoh nyata bagaimana undang-undang dapat disahkan tanpa keterlibatan publik yang bermakna.
Pasal-Pasal Bermasalah dan Ancaman terhadap Hak Masyarakat
Banyak pasal dalam KUHAP baru dinilai melemahkan hak-hak warga negara. Sejumlah ketentuan memperlonggar kewenangan aparat tanpa kontrol memadai. Ada pula aturan yang berpotensi menghilangkan prinsip-prinsip penting dalam perlindungan hak tersangka, seperti batasan waktu pemeriksaan, kontrol terhadap tindakan penyadapan, hingga jaminan pendampingan hukum.
Kelebihan kewenangan aparat dapat memicu penyalahgunaan. Tanpa mekanisme pengawasan ketat, risiko kriminalisasi meningkat. Banyak ahli hukum menilai bahwa KUHAP baru justru bergerak mundur dibanding regulasi sebelumnya.
Beberapa ketentuan juga tidak selaras dengan putusan Mahkamah Konstitusi maupun standar internasional mengenai perlindungan hak asasi manusia. Hal ini membuat KUHAP baru dinilai kurang progresif dan potensial menimbulkan kontroversi di lapangan.
Dampak Kerusakan Sistemik Jika Tidak Dikoreksi
Jika KUHAP baru diterapkan tanpa revisi dan tanpa masa adaptasi, dampaknya bisa sistemik. Proses penyidikan terancam kacau. Penuntutan dan persidangan dapat dipenuhi sengketa prosedur. Banyak perkara bisa tertunda atau batal demi hukum karena kesalahan formal dalam penerapan aturan.
Ketidakpastian hukum juga akan meningkat. Penasihat hukum mungkin kesulitan memberi nasihat yang tepat kepada klien karena aturan belum dipahami secara menyeluruh. Aparat berbeda daerah bisa menerapkan interpretasi berbeda, menciptakan ketimpangan dalam perlakuan hukum. Kondisi demikian akan memperburuk kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan.
Jika masalah ini dibiarkan, keadilan substantif dapat terganggu. Korban kejahatan bisa dirugikan dan tersangka bisa kehilangan haknya. Sistem peradilan yang tidak stabil menjadi ancaman bagi negara hukum.
Mengapa DPR Perlu Mendengar Publik
Kritik terhadap KUHAP baru seharusnya menjadi peringatan bagi DPR dan pemerintah. Proses legislasi bukan hanya tentang menghasilkan aturan baru, tetapi memastikan aturan tersebut sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan prinsip-prinsip demokrasi.
Partisipasi publik harus dijadikan standar, bukan sekadar dekorasi. Tanpa itu, undang-undang rentan menjadi alat kekuasaan, bukan pelindung keadilan.
Jika publik dikesampingkan, maka undang-undang yang dihasilkan cenderung bermasalah. KUHAP baru kini menjadi bukti bahwa legislasi yang tidak inklusif dapat menghasilkan aturan yang berpotensi membahayakan hak-hak dasar.
Harapan Perbaikan: Revisi dan Penundaan Implementasi
Banyak kelompok sipil mengusulkan agar pemerintah menunda penerapan KUHAP baru dan membuka ruang revisi. Penundaan memberikan waktu bagi aparat mempersiapkan diri, melakukan pelatihan, dan memahami alur prosedur baru.
Selain itu, revisi diperlukan untuk memperbaiki pasal-pasal bermasalah. Diskusi terbuka dengan akademisi, organisasi bantuan hukum, kelompok masyarakat sipil, dan publik perlu dilakukan agar aturan lebih kuat dan berkualitas.
Revisi bukan tanda kelemahan, tetapi bukti tanggung jawab negara dalam menjaga keadilan.
Penutup
Pengesahan KUHAP baru seharusnya menjadi langkah besar menuju pembaruan hukum acara pidana. Namun kenyataannya, banyak pasal bermasalah, minim partisipasi publik, dan tidak adanya masa transisi justru menimbulkan potensi kekacauan hukum.
Tanpa perbaikan, KUHAP baru dapat berubah menjadi bencana legislatif yang merugikan semua pihak. Diperlukan keberanian politik untuk melakukan koreksi sebelum aturan ini benar-benar menciptakan masalah besar di lapangan.

Cek Juga Artikel Dari Platform 1reservoir.com
