georgegordonfirstnation.com Pernyataan Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto mengenai kemampuan negara dalam menangani bencana banjir dan tanah longsor di sejumlah wilayah Sumatera memunculkan beragam respons. Di satu sisi, pemerintah menampilkan keyakinan bahwa sistem penanggulangan bencana nasional cukup kuat. Di sisi lain, sejumlah pengamat dan kalangan politik mempertanyakan kebijakan yang belum menetapkan bencana tersebut sebagai bencana nasional.
Bencana yang melanda berbagai wilayah di Sumatera telah menimbulkan dampak luas bagi masyarakat. Banjir dan longsor menyebabkan kerusakan infrastruktur, mengganggu aktivitas ekonomi, serta memaksa ribuan warga mengungsi. Dalam konteks tersebut, pernyataan Presiden dinilai sebagai upaya menegaskan kehadiran negara dan kapasitas aparat dalam menghadapi krisis.
Keyakinan Presiden terhadap Kapasitas Negara
Presiden Prabowo menyampaikan bahwa Indonesia memiliki kemampuan yang memadai untuk menangani bencana alam yang terjadi di Sumatera. Ia menekankan bahwa negara telah memiliki pengalaman panjang dalam menghadapi bencana, mulai dari gempa bumi, tsunami, hingga banjir dan longsor di berbagai daerah.
Menurut Presiden, kesiapsiagaan aparat, koordinasi lintas kementerian, serta dukungan TNI dan Polri menjadi modal utama dalam penanganan bencana. Pemerintah pusat juga disebut terus berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk memastikan bantuan dan penanganan berjalan sesuai kebutuhan di lapangan.
Pernyataan ini dimaknai sebagai bentuk optimisme pemerintah terhadap sistem penanggulangan bencana yang telah dibangun selama bertahun-tahun. Negara ingin menunjukkan bahwa respons tidak selalu harus diiringi dengan penetapan status bencana nasional untuk dapat bekerja secara maksimal.
Sorotan Pengamat terhadap Status Bencana
Namun, pandangan berbeda datang dari kalangan akademisi dan pengamat kebencanaan. Ahli Sosiologi Bencana dari Nanyang Technological University, Sulfikar Amir, menilai bahwa belum dinaikkannya status bencana di Sumatera menjadi bencana nasional patut dikaji lebih dalam.
Menurutnya, penetapan status bencana nasional bukan semata persoalan simbolik. Status tersebut memiliki implikasi besar terhadap mobilisasi sumber daya, fleksibilitas anggaran, serta kecepatan pengambilan keputusan lintas sektor. Tanpa status nasional, pemerintah daerah dinilai masih memikul beban besar dalam hal pembiayaan dan koordinasi.
Sulfikar juga menekankan bahwa skala dampak dan luas wilayah terdampak seharusnya menjadi pertimbangan utama. Ketika bencana melanda banyak daerah secara bersamaan, kapasitas daerah bisa terlampaui, sehingga peran pemerintah pusat menjadi semakin krusial.
Pandangan Politik dan Istilah Man-Made Disaster
Dari ranah politik, pernyataan kritis datang dari Juru Bicara PDI Perjuangan, Ansy Lema. Ia menyebut bencana yang terjadi di Sumatera tidak sepenuhnya dapat dikategorikan sebagai bencana alam murni. Menurutnya, ada faktor manusia yang berkontribusi signifikan, sehingga bencana tersebut layak disebut sebagai man-made disaster.
Ansy menyinggung persoalan deforestasi dan alih fungsi lahan yang masif sebagai salah satu penyebab utama. Ia menilai kerusakan lingkungan memperparah dampak curah hujan tinggi, sehingga banjir dan longsor menjadi lebih destruktif. Pandangan ini menempatkan bencana bukan hanya sebagai peristiwa alam, tetapi juga sebagai konsekuensi kebijakan pembangunan.
Deforestasi dan Kerentanan Lingkungan
Isu deforestasi memang kerap muncul dalam diskursus kebencanaan di Indonesia. Hilangnya tutupan hutan dinilai mengurangi daya serap tanah terhadap air hujan. Akibatnya, air mengalir deras ke permukiman dan sungai meluap lebih cepat.
Dalam konteks Sumatera, pembukaan lahan untuk perkebunan, pertambangan, dan infrastruktur sering disebut sebagai faktor yang meningkatkan kerentanan wilayah. Para pengamat lingkungan menilai bahwa tanpa perbaikan tata kelola lingkungan, bencana serupa akan terus berulang meski sistem penanggulangan darurat diperkuat.
Respons Negara di Mata Publik
Perdebatan antara keyakinan pemerintah dan kritik pengamat mencerminkan tantangan komunikasi kebijakan di tengah krisis. Sebagian masyarakat menilai pernyataan Presiden sebagai bentuk kepemimpinan yang tegas dan optimistis. Namun, sebagian lainnya melihat perlunya langkah lebih konkret, termasuk evaluasi kebijakan lingkungan dan peningkatan status bencana.
Publik juga menaruh perhatian pada kecepatan distribusi bantuan, kondisi pengungsian, dan pemulihan pascabencana. Bagi warga terdampak, status nasional atau tidak sering kali kalah penting dibandingkan kehadiran bantuan nyata di lapangan.
Bencana sebagai Ujian Tata Kelola
Kasus bencana di Sumatera kembali menegaskan bahwa penanganan bencana tidak bisa dilepaskan dari tata kelola pembangunan. Upaya tanggap darurat memang penting, tetapi pencegahan jangka panjang menjadi kunci utama. Tanpa pembenahan kebijakan lingkungan, bencana akan terus menjadi siklus yang berulang.
Pengamat menilai bahwa pernyataan Presiden seharusnya diiringi dengan komitmen kuat terhadap perlindungan lingkungan. Dengan demikian, kemampuan negara tidak hanya diukur dari respons darurat, tetapi juga dari keberhasilan mencegah bencana di masa depan.
Kebutuhan Sinergi dan Evaluasi
Perbedaan pandangan antara pemerintah, pengamat, dan partai politik seharusnya tidak berujung pada polarisasi. Sebaliknya, perbedaan tersebut dapat menjadi bahan evaluasi untuk memperbaiki sistem. Sinergi antara pemerintah pusat, daerah, akademisi, dan masyarakat sipil dinilai sangat penting.
Evaluasi status bencana, tata kelola lingkungan, serta mekanisme bantuan perlu dilakukan secara terbuka. Transparansi dan dialog menjadi kunci agar kebijakan yang diambil mendapat kepercayaan publik.
Penutup
Pernyataan Presiden Prabowo mengenai kemampuan Indonesia menangani bencana Sumatera menunjukkan keyakinan negara terhadap kapasitasnya sendiri. Namun, sorotan pengamat dan kritik politik mengingatkan bahwa penanganan bencana tidak hanya soal respons darurat, tetapi juga status kebijakan dan akar masalah lingkungan. Di tengah perbedaan pandangan, bencana Sumatera menjadi cermin penting bagi Indonesia untuk memperkuat tata kelola kebencanaan yang tidak hanya cepat, tetapi juga berkelanjutan dan berpihak pada keselamatan jangka panjang masyarakat.

Cek Juga Artikel Dari Platform kalbarnews.web.id
