Skip to content
georgegordonfirstnation
Menu
  • About
  • Blog
  • Contact
  • Home
  • Portfolio
  • Resources
  • Sample Page
Menu

Tersangka Ledakan SMA 72 Jakarta Tinggal Bersama Ayah, Ibu Bekerja di Luar Negeri

Posted on November 13, 2025November 13, 2025 by admin

georgegordonfirstnation.com Kasus ledakan di SMA Negeri 72 Jakarta yang sempat menghebohkan publik kini memasuki babak baru. Pihak kepolisian mengungkap fakta bahwa pelaku ledakan, yang berstatus anak berhadapan dengan hukum (ABH), ternyata selama ini tinggal hanya bersama sang ayah, sedangkan ibunya bekerja di luar negeri.

Informasi tersebut disampaikan oleh Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Budi Hermanto. Menurutnya, kondisi keluarga menjadi salah satu faktor penting yang kini tengah dianalisis oleh penyidik untuk memahami latar belakang perilaku sang anak. “ABH tinggal bersama ayahnya, sementara ibunya bekerja di luar negeri,” ujar Budi.

Polisi tidak hanya berfokus pada unsur pidana, tetapi juga menyoroti sisi sosial dan psikologis dari kasus ini. Situasi keluarga yang tidak utuh kerap menjadi salah satu pemicu ketidakseimbangan emosi pada remaja, apalagi di usia sekolah menengah atas yang rentan terhadap pengaruh lingkungan dan tekanan sosial.


Siapa Itu Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH)?

Status anak berhadapan dengan hukum (ABH) diberikan kepada anak-anak di bawah usia 18 tahun yang terlibat dalam sistem peradilan pidana, baik sebagai pelaku, korban, maupun saksi. Konsep ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang menekankan pendekatan pembinaan, bukan semata-mata penghukuman.

Menurut UU tersebut, pendekatan terhadap ABH harus berfokus pada pemulihan, perlindungan, dan rehabilitasi, bukan pada hukuman berat. Prinsip ini bertujuan menjaga masa depan anak agar tidak terputus akibat proses hukum. Polisi, jaksa, hingga hakim diwajibkan mengedepankan asas kepentingan terbaik bagi anak dalam setiap proses penanganan perkara.

Dalam kasus ledakan di SMA 72 Jakarta, pihak kepolisian juga menggandeng Unit Pelindungan Perempuan dan Anak (PPA) untuk mendampingi pelaku. Pendekatan ini penting agar anak tidak semakin tertekan secara mental dan dapat mengikuti proses hukum dengan baik.


Kondisi Keluarga dan Faktor Sosial

Fakta bahwa pelaku hanya tinggal dengan ayahnya menjadi sorotan banyak pihak. Menurut pengakuan beberapa sumber di lingkungan sekitar, hubungan pelaku dengan ayahnya dinilai kurang dekat. Sehari-hari sang ayah bekerja, sementara anak lebih banyak menghabiskan waktu sendiri di rumah.

Situasi seperti ini sering menimbulkan rasa kesepian dan kekosongan emosional pada remaja. Tanpa pengawasan yang cukup, anak dapat mencari pelampiasan atau bentuk pengakuan di luar rumah, termasuk dari dunia digital. Banyak kasus serupa di mana anak terpapar konten berbahaya di internet yang mendorong rasa ingin tahu ekstrem, termasuk eksperimen dengan bahan kimia atau alat berbahaya.

Kondisi serupa juga dialami oleh banyak anak dari keluarga pekerja migran, di mana salah satu orang tua harus bekerja di luar negeri. Meski alasan ekonomi menjadi faktor utama, dampak psikologis terhadap anak sering kali terabaikan. “Banyak anak kehilangan figur ibu atau ayah yang biasanya menjadi tempat bercerita. Ketika komunikasi tidak lancar, mereka bisa mencari pelampiasan lain,” ujar salah satu psikolog remaja di Jakarta.


Tinjauan Psikologis: Remaja dan Eksperimen Berbahaya

Pakar psikologi perkembangan menyebut, usia remaja merupakan fase pencarian jati diri. Di masa ini, rasa ingin tahu sangat tinggi, terutama terhadap hal-hal yang menantang. Tanpa pengawasan orang tua yang cukup, rasa ingin tahu tersebut dapat berujung pada tindakan yang berisiko, termasuk eksperimen yang membahayakan diri sendiri dan orang lain.

Kasus ledakan di SMA 72 menunjukkan pentingnya pendidikan kesadaran keamanan di lingkungan sekolah. Guru dan wali kelas diharapkan lebih aktif memantau perilaku siswa yang menunjukkan perubahan drastis, seperti menarik diri, mudah marah, atau menunjukkan minat pada hal-hal berbahaya.

Selain itu, pihak sekolah juga diminta bekerja sama dengan orang tua untuk memperkuat komunikasi. Banyak anak merasa tidak didengar, sehingga mencari perhatian melalui cara-cara ekstrem. Program bimbingan konseling dan dukungan emosional di sekolah harus diperkuat agar siswa memiliki tempat aman untuk berbicara.


Respons Pihak Kepolisian dan Langkah Lanjutan

Kepolisian menegaskan bahwa penyidikan terhadap kasus ini masih terus berlanjut. Barang bukti yang ditemukan di lokasi ledakan, termasuk bahan kimia dan alat rakitan, sedang dianalisis untuk memastikan sumber dan tujuannya.

Meski demikian, karena pelaku berstatus anak, proses hukum akan ditempuh dengan pendekatan restoratif. Artinya, aparat tidak semata-mata fokus pada hukuman, tetapi juga mencari jalan terbaik agar anak mendapatkan rehabilitasi. “Kami akan mendampingi dengan pendekatan yang manusiawi dan sesuai aturan peradilan anak,” ujar Kombes Budi Hermanto.

Polda Metro Jaya juga akan berkoordinasi dengan pihak sekolah dan Dinas Pendidikan untuk memastikan kasus ini tidak menimbulkan trauma berkepanjangan bagi siswa lain. Upaya pencegahan akan dilakukan agar insiden serupa tidak terulang di masa depan.


Pentingnya Peran Keluarga dalam Pencegahan

Kasus ini menjadi pengingat bahwa peran keluarga sangat penting dalam menjaga kestabilan emosi anak. Orang tua, terutama yang harus bekerja di luar rumah atau di luar negeri, perlu memastikan komunikasi dengan anak tetap terjalin dengan baik.

Kehadiran emosional orang tua sama pentingnya dengan kehadiran fisik. Di era teknologi seperti sekarang, berbagai platform komunikasi dapat dimanfaatkan agar anak tetap merasa diperhatikan.

Bagi masyarakat luas, kasus ini menjadi pelajaran berharga tentang bagaimana ketidakhadiran figur orang tua dan kurangnya pengawasan dapat berdampak serius. Keseimbangan antara kebutuhan ekonomi dan peran keluarga dalam pengasuhan anak perlu dijaga agar tidak memunculkan generasi yang kehilangan arah.


Kesimpulan

Insiden ledakan di SMA 72 Jakarta bukan hanya perkara hukum, tetapi juga cermin kompleksitas sosial keluarga modern. Di balik tindakan yang tampak ekstrem, sering tersembunyi cerita kesepian, tekanan batin, dan kebutuhan akan perhatian.

Polisi kini berupaya memastikan proses hukum berjalan adil sekaligus manusiawi, sementara masyarakat diingatkan untuk lebih peka terhadap kondisi psikologis anak di sekitar mereka. Kejadian ini menjadi momentum bagi semua pihak—keluarga, sekolah, dan pemerintah—untuk bersatu menjaga masa depan generasi muda agar tidak tersesat dalam keheningan yang tak terdengar.

Cek Juga Artikel Dari Platform kabarsantai.web.id

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Archives

  • November 2025
  • October 2025
  • September 2025

Categories

  • Internarsional
  • Nasional
  • Viral
©2025 georgegordonfirstnation | Design: Newspaperly WordPress Theme